Showing posts with label bird crash. Show all posts
Showing posts with label bird crash. Show all posts

Monday, 26 December 2016

Pesawat Terbang / Pesawat Udara


Pesawat terbang yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali oleh Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) dengan menggunakan pesawat rancangan sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada tahun 1903 di Amerika Serikat. Selain Wright bersaudara, tercatat beberapa penemu pesawat lain yang menemukan pesawat terbang antara lain Samuel F Cody yang melakukan aksinya di lapangan Fanborough, Inggris tahun 1910. Setelah zaman Wright, pesawat terbang banyak mengalami modifikasi baik dari rancang bangun, bentuk dan mesin pesawat untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara.
Prinsip dasar dari cara pesawat terbang untuk mengudara sama untuk semua pesawat, baik pesawat capung maupun pesawat super jumbo seperti Airbus A380. Yang mempengaruhi pesawat unuk terbang adalah gaya – gaya aerodinamis yang mengenainya yaitu, gaya angkat (lift), gaya hambat (drag), gaya berat (grafitasi), dan gaya dorong (trust).
Gaya dorong pesawat kedepan didapat dari baling-baling yang berputar pada ujung pesawat (lihat gambar). Sedangkan gaya hambat merupakan pergesekan pesawat udara dengan angin. Karena pesawat udara mempunyai massa, maka gaya grafitasi akan membawa pesawat kebawah, untuk itulah gaya angkat diperlukan. Gaya angkat dihasilkan dari sayap pesawat udara.
Sayap pesawat udara ini yang memegang peranan kunci untuk mengkat badan pesawat. Penampang sayap ini biasanya disebut “aerofoil” Selama penerbangan udara mengalir ke atas dan bawah sayap. Udara yang megalir diatas sayap lebih cepat dari udara yang mengalir dibawah sayap, sehingga tekanan udara diatas pesawat lebih rendah.
Disaat yang bersamaan udara dibawah sayap dibelokan kebawah, sehingga terjadi gaya angkat (udara yang terdorong kebawah akan mendorong sayap keatas- gaya aksi reaksi).
Gaya dorong terhadap sayap dan tekanan udara yang rendah diatas sayap inilah yang di butuhkan untuk pesawat terbang di udara.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pesawat dapat terbang, diantaranya :
  1. Sayap
  1. Airfoil
Sebuah pesawat memerlukan gaya angkat atau lift yang di butuhkan untuk terbang. Lift dihasilkan oleh permukaan suatu sayap(wing) yang berbentuk airfoil.
Gaya angkat terjadi karena adanya aliran udara yang melewati bagian atas dan bagian bawah di sekitar airfoil. Pada saat terbang, aliran udara yang melewati bagian atas airfoil akan memiliki kecepatan yang lebih besar daripada kecepatan aliran udara yang melewati bagian bawah dari airfoil. Maka, pada permukaan bawah airfoil akan memiliki tekanan yang lebih besar daripada permukaan di atas. Perbedaan tekanan pada bagian atas dan bawah inilah yang menyebabkan terjadinya gaya angkat atau lift pada sayap pesawat. Oleh karena tekanan berpindah dari daerah yang bertekanan besar menuju ke daerah yang bertekanan kecil, maka tekanan pada bagian bawah airfoil akan bergerak menuju bagian atas airfoil sehingga tercipta gaya angkat pada sayap pesawat. Gaya angkat inilah yang membuat pesawat dapat terbang dan melayang bebas di udara.

Untuk bergerak ke depan (baik di darat maupun di udara), pesawat memerlukan daya dorong yang di hasilkan oleh tenaga penggerak atau yang biasa di sebut dengan mesin (engine). Daya dorong yang nantinya di hasilkan oleh engine ini biasa di sebut dengan thrust. Terdapat beberapa jenis engine dari pesawat, diantaranya :
-Piston Engine
-Turbojet Engine
-Turboporop Engine
-Turbofan Engine
-Turboshaft Engine
  • Piston Engine
Piston engine atau biasa di sebut dengan mesin torak, merupakan mesin yang menggunakan piston (torak) sebagai tenaga penggerak. Piston yang bergerak naik turun di hubungkan dengan crankshaft melalui connecting rod untuk memutar propeller atau baling-baling. Piston dapat bergerak naik turun karena adanya pembakaran antara campuran udara dengan bahan bakar (fuel) di dalam ruang bakar (combustion chamber). Pembakaran di dalam combustion chamber menghasilkan expansion gas panas yang dapat menggerakkan piston bergerak naik turun.
Pesawat yang menggunakan mesin piston umumnya menggunakan propeller sebagai tenaga pendorong untuk menghasulkan thrust. Bentuk penampang dari propeller itu sendiri sama seperti sayap, yaitu juga berbentuk airfoil. Sehingga pada saat propeller berputar maka akan menghasilkan gaya dorong atau thrust sehingga pesawat dapat bergerak ke depan. Pesawat dengan mesin piston ini merupakan jenis pesawat ringan atau biasa di sebut dengan light aircraft. Pesawat ini mempunyai daya jelajah yang kecil dan ketinggian terbang yang tidak terlalu tinggi.
Pada dasarnya, prinsip kerja dari semua engine pesawat sama. Yaitu memanfaatkan energi pembakaran antara campuran bahan bakar dengan udara yang menghasilkan expansion gas yang terjadi di dalam ruang bakar cc (combustion chamber).
  • Turbojet Engine
Dinamakan turbojet engine karena mesin ini menggunakan turbin dalam membangkitkan tenaga, dan jet yang artinya semburan/pancaran. Yaitu semburan hasil pembakaran di dalam cc keluar menuju turbin dan memutar turbin, lalu turbin memutar compressor dan menggerakkan komponen engine lainnya.

Prinsip kerja dari Turboprop engine sama dengan proses kerja dari turbojet engine. Yang membedakannya adalah terdapat propeller pada engine ini. Propeller terhubung dengan turbin dan compressor melalui shaft.
  • Turbofan
Sama dengan turboprop, prinsip kerja turbofan sama dengan turbojet engine. Perbedaannya adalah pada turbofan engine terdapat fan di depan compressor. Fan berfungsi untuk menghisap udara masuk ke dalam compressor.

  • Turboshaft Engine
Prinsip kerja dari turboshaft engine juga hampir sama deng an turbojet engine. Engine ini di gunakan pada helikopter. Pada turboshaft engine, terdapat shaft yang terhubung dengan turbin. Shaft ini menghubungkan ke main rotor atau baling-baling pada helikopter. Rotor pada helikopter mempunyai penampang berbentuk airfoil.

  • Bidang Kendali (Flight Control Surface)
Untuk menggerakkan pesawat (berbelok, menukik, dan rolling atau berbalik), seorang pilot memerlukan bidang kendali atau control surface .
Primary control surface
Primary control surface atau bidang kendali utama adalah bidang kendali pesawat yang dapat mengatur pergerakan pesawat pada saat terbang di udara. Aileron, elevator, dan rudder merupakan bidang kendali utama pada pesawat.
  1. Aileron terletak pada sayap, digunakan pesawat pada saat melakukan rolling (berbalik) di udara dan pergerakannya berada pada sumbu longitudinal pesawat, aileron dikendalikan dengan menggunakan stick control yang berada pada cockpit.
  2. Elevator terletak pada bagian ekor (empenage) atau bagian horizontal stabilizer, digunakan pesawat untuk melakukan piching (mengangguk) dan pergerakannya pada sumbu lateral pesawat, elevator di kendalikan dengan menggunakan stick control yang berada di ruangan cockpit.
  3. Rudder terletak di pada bagian ekor tepatnya di bagian vertical stabilizer, di gunakan pesawat untuk melakukan yawing (berbelok) diudara dan pergerakannya pada sumbu vertical pesawat, rudder di kendalikan dengan menggunakan rudder pedal yang terletak pada ruang cockpit.
Spoiler untuk Bidang kendali pesawat dengan sumbu dan arah pergerakannya Spoiler untuk Bidang kendali pesawat dengan sumbu dan arah pergerakannya


 
Pesawat terbang, adalah salah satu obyek yang selalu menarik untuk disimak. Kali ini kita akan melihat perkembangan salah satu “organ vital” pesawat terbang yaitu mesin pendorong yang berjenis mesin Jet atau dalam dunia penerba­ngan biasa disebut Aircraft Power Plant
Mengapa disebut sebagai “organ vital” tentu saja…mesin Jet ini ibarat organ jantung pada manusia yang berfungsi mengatur denyut nadi, juga tekanan darah, yang secara umum pada akhirnya menentukan kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Apabila jantung manusia berhenti, maka seluruh kegiatan kehidupan yang ditunjang olehnya juga akan berhenti. Begitupun dengan mesin pesawat terbang. Apabila mesin itu mati karena suatu hal, maka secara umum sistem internal di dalam pesawat itu akan terancam kelangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan karena mesin itu menyediakan fungsi sistem-sistem internal yang ada di dalam pesawat terbang tersebut. Sistem apa sajakah itu?
Sistem-sistem tersebut adalah Sistem Kelistrikan (Electrical System), Sistem Hidrolis (Hydraulic System), Sistem Tekanan Kabin (Pressurization System), Sistem Kendali Pesawat Terbang (Flight Control System), serta sistem-sistem sekunder lain yang ada dalam pesawat terbang.
Roda pendarat sangat tergantung dengan adanya Sistem Hidrolis ini.Penumpang di dalam pesawat terbang sangat tergantung dengan keberadaan sistem tekanan kabin, agar dapat bernapas dengan leluasa serta normal seperti layaknya diatas daratan.
Sang penerbang pun sa­ngat tergantung dengan sistem kelistrikan, supaya alat navigasi, alat komunikasi, serta alat-alat penunjuk lain dapat diandalkan. Sehingga dapat dibayangkan seandainya mesin pesawat terbang tersebut berhenti bekerja, maka semua sistem diatas akan berhenti juga. Itulah sebabnya mesin pesawat terbang mempunyai peran sebagai “organ vital”.
Dahulu saat pesawat terbang berhasil dibuat oleh Wright bersaudara, satu-satunya tenaga penggerak dan pendorong adalah mesin sederhana yang menggerakkan baling-baling.Baling-baling itu lalu menimbulkan daya dorong (thrust), yang didukung oleh profil tertentu sayap pesawat, sehingga menimbulkan gaya angkat (lift ). Gabungan dari daya dorong dan gaya angkat itulah yang membuat pesawat terbang mampu mengudara seperti yang kita lihat.
Tentunya dua gaya itu harus lebih besar dari dua gaya “lawannya”, yaitu gaya berat (weight) dan hambatan(drag). Seiring berjalannya waktu, mesin berbaling-baling dirasakan tidak mencukupi lagi kebutuhan manusia untuk dapat menikmati pesawat terbang. Hal ini disebabkan pesawat berbaling-baling (Propelled Aircraft) memiliki keterbatasan dalam hal ketinggian jelajah, pemborosan bahan bakar, jarak tempuh, serta waktu tempuh penerbangan. Para insinyur penerbangan ingin membuat pesawat terbang yang mampu menjelajah pada ketinggian yang optimal sekaligus menghemat bahan bakar, memanfaatkan massa udara yang sedikit untuk dimampatkan lalu menghasilkan daya dorong yang spektakuler, serta mampu menempuh jarak yang cukup jauh dengan waktu tempuh yang pendek. Terdengar hampir mustahil memang. Namun, para insinyur pe­nerbangan bersungguh-sungguh ingin mewujudkan keinginan itu. Untuk memenuhi “ambisi” ini, maka dibuatlah mesin Jet.
Prinsip Prinsip Daya Dorong Jet
Apa arti Jet sebenarnya? Darimana konsep Jet itu berasal? Siapakah manusia pertama yang menemukannya? Jet artinya pancaran atau semprotan.Konsep reaksi Jet pertama kali dipercaya oleh para ilmuwan dari sebuah alat permainan di negeri Romawi kuno yang dikenal dengan sebutan Hero’s Engine. Alat permainan ini dipercaya dibuat pada masa 120 tahun SM. Alat ini menggambarkan bahwa gaya/momentum (berupa uap) yang dikeluarkan oleh mulut Jet itu mampu menghasilkan reaksi yang sama besar dengan daya dorong Jet itu sendiri.Kedua Jet kecil itu memancarkan tekanan yang berakibat kedua Jet itu bergerak berputar putar. Kemudian hasilnya Hero’s Engine-pun berputar oleh dorongan kedua Jet itu.
Ilmuwan Fisika terkenal, Sir Isaac Newton juga merumuskan dalam hukumnya yang ketiga, hukum Aksi dan ReaksiHukum itu menyatakan “Setiap gaya yang beraksi pada suatu benda, akan menghasilkan reaksi gaya yang berlawanan arah yang sama besarnya”. Dari sinilah para insinyur penerbangan memulai bekerja menciptakan suatu Mesin Jet yang menjadi tenaga pendorong pesawat terbang.
Tahun 1913 seorang insinyur Perancis bernama Rene Lorin, mematenkan sebuah konsep Mesin berdaya dorong Jet. Tetapi ini ternyata barulah sebuah teori, karena pada masa itu belum ada manufaktur atau produsen yang mampu membuat mesin Jet yang berdasar pada teori ini, meskipun saat ini ternyata Ram Jet(salah satu metoda mesin Jet modern) menggunakan konsep Lorin ini.
Tahun 1930 Frank Whittle dipercaya telah mematenkan karyanya, yaitu sebuah mesin gas turbin yang menghasilkan daya dorong Jet. Tetapi inipun masih berupa teori juga. Mesin gas turbin ini baru selesai sebelas tahun kemudian olehnya melalui uji terbang terlebih dahulu.Konsep mesin gas turbin bertipe Turbo Jet buatan Frank Whittle ini kelak dipakai oleh salah satu manufaktur Mesin Jet terkemuka di dunia yaitu Rolls-Royce Welland.
Beberapa Metoda Daya Dorong Jet
Semua jenis mesin Jet sebetulnya sama. Yaitu sama-sama dihasilkan dari bahan bakar dicampur udara yang telah dimampatkan lalu dibakar, sehingga menghasilkan energi berupa daya dorong untuk terbang. Perbedaannya hanyalah pada “cara memasak” bahan bakar plus udara dan pembakarannya saja. Cara memasak diatas disebut Metoda. Bebe­rapa Metoda itu adalah Ram Jet,Pulse Jet,Rocket,Gas Turbine,Turbo/Ram Jet atau Turbo Rocket.
Masing masing metoda daya do­rong Jet diatas memiliki keunggulan dan kekurangan sendiri-sendiri.Tergantung tujuan dan keperluan penggunaannya. Untuk kepentingan pesawat terbang militer tentunya berbeda dengan kepentingan pesawat komersial.
Pesawat Jet militer (fighting aircraft) membutuhkan karakteristik mesin Jet yang tangguh, lincah, fleksibel, dan bertenaga besar untuk mengejar dan memburu lawannya, sekaligus berkelit dari incaran lawan. Sementara itu, pesawat Jet komersial (Jetliner) memerlukan mesin Jet yang dapat diandalkan pada beberapa keadaan cuaca yang terkadang buruk, mudah dioperasikan saat keadaan abnormal apalagi darurat, irit bahan bakar, biaya perawatan yang murah dan mudah, disamping memiliki kemampuan menanjak yang optimum. Dalam hal ini pilihan tentang jenis atau metoda mesin Jet se­perti diatas menjadi sangat penting.
( Sigit, pilot maskapai BUMN )

sumber : http://tabloidaviasi.com/iptek/mesin-jet-aircraft-power-plant/ 

JAUH sebelum pesawat terbang diciptakan oleh Wright bersaudara, kapal laut telah lebih dulu diciptakan oleh peradaban manusia. Di dalam kitab suci pun tertulis bahwa Nabi Nuh menciptakan kapal laut yang sangat besar yang di dalamnya berisi umat-Nya serta bermacam fauna.
Seiring dengan waktu, teknologi navigasi kapal laut pun berkembang. Pada mulanya sistem navigasi hanya menggunakan tanda-tanda sederhana di permukaan laut yang mudah dilihat dan diingat. Sehingga perjalanan dengan kapal laut sederhana itu belum mampu menempuh jarak jauh.
Kemudian teknologi sistem navigasi berkembang, yakni menggunakan pola perbintangan di langit sebagai penunjukan arah. Pola cuaca juga dimanfaatkan untuk menentukan arah angin dan fenomena cuaca lainnya. Ini pun tergolong masih sederhana tentunya.
Itu berbeda dengan teknologi navigasi dewasa ini yang menggunakan koordinat suatu titik yang diukur dari penentuan garis bujur dan garis lintang, serta dikombinasikan lagi dengan beberapa satelit GNSS yang menghasilkan penentuan posisi yang sangat akurat. Dengan teknologi seperti itu, tingkat kesalahan sangat kecil.
GNSS adalah Global Navigation Satellite System atau bahasa awamnya disebut GPS (Global Positioning System). Setelah pesawat terbang ditemukan, peralatan navigasi pun dimasukkan sebagai bagian dari pesawat terbang. Tak heran jika ukuran jarak terbang tetap menggunakan satuan ukuran Nautical Mile (mil laut). Demikian pula ukur­an kecepatan pesawat yang menggunakan ukuran knots yang artinya nautical mile per hour (mil laut per jam). Sama persis de­ngan ukuran satuan di kapal laut.
Navigasi (diambil dari bahasa Inggris Navigation) berasal dari bahasa Latin ‘navis’ dan ‘agere’. Navis atau nafs dalam bahasa Yunani artinya kapal, sedangkan agere berarti bergerak menuju.
Sehingga arti dari kata navigasi secara umum adalah suatu kapal yang bergerak dari satu tempat menuju ke tempat tujuan. Kalau begitu yang pertama kali menemukan sistem navigasi tentulah orang Yunani?  Ternyata bukan.
Yang menemukan sistem navigasi purba adalah orang Mesir kuno. Sungai Nil yang arusnya pelan dan tidak bergelombang, serta pemandangan di sekitar sungai yang indah meyakinkan orang Mesir untuk membuat kapal dari rumput yang dianyam sedemikian rupa, lalu menjadi kapal yang indah, untuk berlayar di sepanjang sungai itu. Kapal di masa itu ramai dipergunakan sebagai alat transportasi, mencari ikan, atau sekadar hiburan saja. Dari sinilah sistem navigasi sederhana berawal.
Akan tetapi ekspedisi kapal laut dengan jumlah besar, megah, dan penggunaan alat navigasi yang terlengkap pada masa itu adalah bangsa China.
Laksamana Cheng Ho
Pada tahun 1405-1433, Dinasti Ming yang ketiga, yakni Kaisar Zhu Di mengutus para pelaut ulungnya untuk berlayar ke seluruh dunia dengan kekuatan armada lima kapal besar. Masing – masing kapal memiliki berat 1.500 ton, panjang 120 meter dan mampu mengangkut 7.000 penumpang. Total semua awak kapal adalah 20.000, termasuk pelaut, tentara China, kartografer (ahli pembuat peta), peralatan, cendera mata, serta perbekalan.
Ekspedisi ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho yang termasyur itu. Cheng Ho menggunakan sistem navigasi yang sangat akurat. Mereka telah mampu membuat Compass Rose (alat penunjuk arah magnetis), Theodolite (sebuah alat dengan teleskop yang berputar untuk mengukur sudut vertikal dan horisontal), serta peralatan untuk sistem navigasi perbintangan (Celestial Globe Navigation ).
Mereka juga memanfaatkan pola bintang Salib Selatan (The Southern Cross ) sebagai sarana penunjukan arah. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mempromosikan perdagangan China serta memperluas pengaruh China ke seluruh dunia. Di samping itu juga untuk membuat peta daratan dan lautan di seluruh dunia. Pembuatan peta benua Afrika, Amerika, Asia, Australia, sebagian Eropa, bahkan Antartika dimulai dari ekspedisi tersebut. Jadi Laksamana Cheng Ho-lah yang pertama kali menemukan benua Amerika. Ekspedisi pelayaran Christopher Columbus terjadi 87 tahun kemudian, yakni th 1492. Peta yang dipakai Columbus adalah hasil buatan Cheng Ho yang telah dimodifikasi.
Dasar – Dasar Navigasi Udara
Prinsip dari navigasi udara adalah mener­bangkan pesawat udara dari satu tempat ke tempat yang dituju dengan perencanaan yang akurat agar tidak tersesat, tidak melanggar aturan hukum dan aturan keselamatan, baik di udara maupun di darat.
  1. Untuk itu penerbang mesti mempersiapkan beberapa hal yang terkait dengan misi itu, yakni:
    Titik/Tempat keberangkatan (A).
  2. Titik tujuan (B).
  3. Arah magnetis dari perjalanan itu.
  4. Jarak yang akan ditempuh.
  5. Kecepatan rata-rata pesawat.
  6. Jumlah bahan bakar yang harus dibawa.
  7. Keadaan cuaca, baik di titik A, B, maupun cuaca sepanjang perjalanan. Keadaan cuaca ini sangat penting, mengingat akan mempengaruhi waktu tempuh (yang berpengaruh lagi pada konsumsi bahan bakar ) serta arah angin yang kemungkinan berubah-ubah, sehingga arah pesawat harus disesuaikan lagi supaya tidak terbawa angin yang berakibat salah arah. Sederhana bukan?


 UNTUK melaksanakan penerbang­an navigasi yang baik, penerbang harus dapat menentukan posisi pesawat yang relatif terhadap permukaan bumi setiap saat. Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menetukan posisi dalam ber-navigasi. Beberapa metoda itu adalah:
1. Pilotage Navigation
Sistem navigasi ini boleh dikatakan sebagai navigasi dasar karena sangat sederhana, yakni mempergunakan tanda-tanda di permukaan bumi yang mudah dilihat yang dapat dipakai sebagai patokan dalam bernavigasi. Tanda-tanda itu contohnya jembatan, sungai, danau, hutan, jalan raya, jalan kereta api, pabrik, lapangan terbang, bukit, dermaga kapal, dan lain-lain. Mudah sekali bukan? Seperti kita mengendarai mobil melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung de­ngan dipandu tanda-tanda yang dapat kita manfaatkan sebagai patokan, sehingga akhirnya kita sampai ke tujuan.
2. Dead Reckoning Positioning
Teknik ini sedikit lebih advanced, karena penentuan suatu titik adalah hasil kalkulasi yang berupa waktu. Maksudnya, setelah titik/posisi pertama ditemukan, maka titik selanjutnya tidak sulit untuk ditemukan.
Dengan patokan waktu yang telah ditentukan, titik berikutnya dapat diposisikan juga, tentunya setelah diberikan koreksi kecepatan pesawat, dan koreksi arah pesawat. Kenapa mesti ada koreksi? Tentu saja, sebab terkadang arah dan kecepatan angin tidak selalu tegak lurus dengan arah pesawat. Terkadang datang dari samping kiri maupun kanan, sehingga penerbang harus menghitung efek angin itu terhadap arah penerbangan navigasi kita, agar arahnya tidak melenceng.
3. Radio Navigation
Cara ini pun juga semakin maju, karena memanfaatkan radio navigasi, yakni VOR/DME dan NDB. Apa pula ini?VOR adalah VHF Omnidirectional Range. VHF itu sendiri adalah Very High Frequency, gelombang radio dengan frekuensi sangat tinggi.
Sederhananya begini, suatu stasiun radio yang memancarkan gelombang yang sangat tinggi, berupa jari-jari atau radial yang sa­ngat banyak, berjumlah 360 derajat. Omni artinya banyak/multi. Directional maksudnya arah. Seolah-olah seperti roda sepeda yang memiliki jeruji yang banyak, yang terikat pada pusatnya. ‘Jari-jari‘ stasiun VOR tadi yang berupa radial adalah alat ‘penuntun’ penerbang untuk menentukan posisinya.
Apabila ditambah DME, maka semakin lengkaplah fungsinya, ka­rena selain memberikan arah/posisi, juga memberikan informasi berupa jarak. DME artinya Distance Measuring Equipment,alat pengukur jarak pesawat itu ke stasion radio tersebut. Apabila suatu kali kita mendengar di radio komunikasi, penerbang melaporkan posisi sebagai berikut: …..’ Position on Radial 245 inbound,distance 20 DME from ‘DKI’ VOR’….. itu berarti dia ada di radial 245 derajat menuju ke stasiun DKI (nama VOR bandara Soekarno-Hatta) dengan jarak 20 DME.
Sedangkan NDB (Non Directional radioBeacon ) adalah stasiun radio juga, tetapi tidak sekomplit VOR, karena tidak memancarkan radial (jari-jari) seperti VOR. NDB sudah jarang digunakan untuk navigasi jarak jauh, mengingat akurasinya yang rendah, meskipun masih tetap digunakan untuk tambahan sarana pendaratan pesawat di bandara.
4. Celestial Navigation
Sistem navigasi ini dulu sering dipakai oleh para pelaut. Laksamana Cheng Ho menggunakan sistem ini untuk mengarungi lautan di seluruh dunia. Sistem ini menggunakan posisi matahari, bulan, dan bintang-bintang, atau benda-benda di langit lainnya sebagai patokan posisi kapal di bumi.
5. Inertial Refference System (IRS) dan Global Positioning System (GPS)
Sistem inilah yang terkini dipakai untuk melaksanakan misi navigasi, baik navigasi udara maupun navigasi pelayaran. IRS ini adalah suatu sistem yang sangat canggih. Ia memerlukan masukan (input) pada saat awal hendak dipergunakan. Input itu berupa titik-titik koordinat posisi saat itu yang sudah ditentukan berdasarkan posisi relatif terhadap garis bujur dan garis lintang.
Pesawat terbang dewasa ini hampir dipastikan semua memakai GPS untuk penentuan posisinya. GPS ini juga mempergunakan patokan garis bujur dan garis lintang. Pesawat terbang yang canggih umumnya menggunakan IRS dan GPS bersama-sama agar semakin super akurat. Meskipun begitu, radio navigasi seperti VOR/DME tetap selalu dipergunakan sebagai bagian dari perlengkapan navigasi, yang statusnya adalah pelengkap ataupun sebagai cadang­an seandainya GPS dan IRS tiba-tiba tidak berfungsi, karena suatu hal.
Apakah di langit terdapat jalan raya untuk pesawat terbang? Jawabannya memang ada ‘jalan raya’ untuk pesawat terbang. Tetapi ‘jalan raya’ itu tak terlihat secara kasat mata. Semacam jalan raya imajiner begitulah.
Jika kita hendak pergi ke Monas Jakarta, maka kita bisa melalui Jalan Merdeka Selatan. Jika hendak ke Bandara Soekarno-Hatta tanpa lewat tol, kita bisa melalui Jalan Daan Mogot.
Begitu juga dengan jalan raya pesawat terbang. Bila hendak terbang navigasi dari bandara Soekarno-Hatta ke bandara Ahmad Yani di Semarang, maka kita lewat jalan imajiner yang bernama W-45 (baca Whiskey Four Five).
Jika kita terbang navigasi dari bandara Ngurah Rai di Bali menuju ke Soekarno-Hatta di Jakarta, jalan imajiner itu bernama W-33 (Whiskey Three Three) lalu bersambung ke W-16 (Whiskey One Six). Jalanan imajiner tadi sebetulnya tidak lain adalah jari-jari atau radial dari radio VOR yang seperti dijelaskan di atas. Misalnya jika kita terbang dari Ngurah Rai ke Jakarta, maka radio VOR yang kita lewati adalah VOR Ngurai Rai sendiri, yakni BLI (baca Bravo Lima India), selanjutnya VOR Surabaya, SBR (Sierra Bravo Romeo), kemudian VOR Indramayu (IMU/India Mike Uniform), terakhir VOR Jakarta, yaitu DKI (Delta Kilo India), maka akhirnya sampailah kita mendarat di Soekarno-Hatta. (Sigit Sasongko)

Menerapkan Work Safety And Human Factor

Human error.   Dua kata itu adalah kata-kata yang cukup sering kita dengar dalam dunia penerbangan.   Frasa ini juga menjadi frasa yang cukup menakutkan bagi insan penerbangan, karena human error sering dituding menjadi penyebab sejumlah kecelakaan pesawat yang tak jarang berakibat hilangnya nyawa satu atau bahkan banyak orang sekaligus.   Namun apakah kita tahu, apakah human error itu ?
Pada saat sebuah kecelakaan (accident) pesawat dinyatakan terjadi karena human error, pemikiran kita akan langsung tertuju pada awak pesawat tersebut: pilot atau awak pesawat yang lain saat itu.   Sementara orang yang berpikir sedikit lebih luas akan memasukkan pula elemen-elemen seperti : pertugas meteorologi, pengatur lalu lintas udara (air traffic controller) dan lain-lain.   Pada dasarnya, kedua pemikiran itu sama sempitnya, sama kontra-produktifnya dan sama salahnya dengan pelaku human error itu sendiri.   Lantas, bagaimana?

Safety dalam Teknologi Penerbangan
Dalam teknologi modern, khususnya teknologi penerbangan, masalah safety menjadi sangat krusial dan vital.   Setidaknya ada dua alasan untuk ini:

  1. penerbangan—“menaklukkan” udara dan beraktivitas di dalamnya—bukanlah kodrat alami manusia yang ditakdirkan untuk hidup dan berkembang di daratan.
  2. teknologi untuk terbang—seperti juga teknologi yang lain—adalah semata-mata buatan manusia, yang memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan, seperti manusia itu sendiri.
Dua alasan pokok itu membuat manusia harus lebih peduli terhadap masalah safety, baik dalam pekerjaan-pekerjaan di darat (pre flight dan post flight check atau pemeliharaan pesawat) maupun saat terbang itu sendiri.   Falsafah “the sky is vast but there’s no room for error” adalah sebuah aksioma penerbangan yang berlaku terus selama penerbangan itu ada.   Semakin berkembang dan maju sebuah teknologi, semakin penting pula untuk concern terhadap masalah keselamatan terbang dan kerja, dan itu dapat dilakukan hanya dengan pemahaman yang baik tentang human error.
Amat bijak bila kita tidak terlalu jauh dulu menyebut human error.   Mungkin lebih tepat bila kita sebut human factor (faktor manusia) yang terlibat dalam hampir setiap kecelakaan penerbangan.   Faktanya memang demikian.   Barulah, 80% diantaranya adalah human error.   Ada bedanya, kan?   Faktor manusia ini memang tidak perlu diragukan karena bagaimanapun teknologi penerbangan dan perangkat pendukungnya (pesawat, ground power unit, radio, runway dan sebagainya) adalah ciptaan manusia.   Seluruh manual dan petunjuk operasi pesawat dan perangkat pendukungnya juga buatan manusia.  Kegiatan inspeksi, pemeliharaan dan penyiapan pesawat serta perangkat pendukung itu juga dilakukan manusia.   Saat pesawat terbang, yang menerbangkannya juga manusia.

Elemen-elemen Dasar Human Factor
Faktor manusia tadi terbagi dalam dua kelompok besar yang selalu terlibat dalam setiap accident:
1.   Unsafe Conditions.   Kondisi-kondisi yang termasuk dalam kelompok unsafe conditions antara lain:
  • Organizational failures.   Kegagalan ini dihasilkan dari kebijakan-kebijakan (policy) dan tindakan yang diambil organisasi atau manajemen.   Organisasi atau sebuah manajemen selalu memiliki pemimpin atau manajer.   Kebijakan seorang manajer atau pemimpin selalu berpengaruh signifikan dalam pembinaan safety dalam sebuah organisasi.
  • Local factor, yang meliputi kondisi lingkungan kerja, kekurangan perlengkapan kerja atau minimnya prosedur yang digunakan.   Faktor lokal ini dapat berupa faktor yang dapat menyebabkan kesalahan (error-producing factors) seperti tools atau perlengkapan yang berkualitas rendah, mudah rusak dan sebagainya atau faktor yang dapat menyebabkan pelanggaran (violation-producing factors) seperti peraturan setempat yang mungkin dianggap terlalu hati-hati (over cautious).
  •  Inadequate defences, yang dapat mencegah terjadinya kesalahan manusia maupun kesalahan teknis.   Defence ini dapat berupa publikasi (manual/petunjuk teknis maupun operasi), budaya disiplin, supervisi kerja dan profesionalisme.
2.   Unsafe Actions.   Unsafe actions banyak digolongkan para ahli sebagai active failures yang dilakukan oleh para “operator” penerbangan (tidak hanya pilot, tapi bisa juga teknisi, operator ATC, petugas bagasi dan sebagainya).   Faktor lingkungan (unsafe conditions) jelas berperan penting terhadap unsafe actions ini, namun demikian ada faktor internal dalam diri manusia itu sendiri yang juga dapat memberi kontribusi terhadap kegagalan aktif ini, antara lain:
  • Memory lapse.   Kealpaan mengingat sesuatu ini dapat terjadi bila seseorang insan penerbangan melakukan sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya, sehingga hal-hal yang sudah direncanakan justru terlewatkan.
  • Action slips.   Biasanya terjadi pada pekerjaan yang amat rutin dan terlalu familiar bagi seorang awak pesawat (prosedur start yang sudah “di luar kepala” atau melakukan hal-hal rutin lainnya).   Yang juga masuk dalam kategori ini adalah rasa percaya diri yang berlebihan (over confident).   Ingat kecelakaan jatuhnya pesawat pembom B-52 USAF pada bulan Juni 1994 akibat sang pilot yang terbiasa bermanuver “gila”.
  • Expertise.   Bila sebuah pekerjaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak qualified, dengan pengetahuan dan keterampilan yang minim, akibatnya bisa fatal.   Itulah pentingnya menempatkan “the right man on the right place” dalam dunia (bisnis) penerbangan.
Faktor-faktor di atas adalah penggolongan umum terhadap sedemikian banyak icon yang terlibat dalam sebuah kecelakaan penerbangan.   Kita dapat melihat, dalam setiap kelompok itu, faktor manusia selalu ada.

Apa Yang Dapat Kita Lakukan?
Jalan keluar dari persoalan human factor ini adalah pembinaan sumber daya manusia yang baik.   “Baik” berarti terarah dan berimbang.   Dalam tataran yang lebih praktis, hal-hal ini wajib dilakukan oleh siapapun yang ingin terlibat dalam dunia penerbangan :
  • Ciptakan manajemen yang baik.   Mulai dari struktur terkecil (dalam sebuah pesawat yang sedang terbang), penerbangan selalu membentuk sebuah manajemen.   Dalam sebuah pesawat angkut misalnya, ada Captain Pilot sebagai flight leader.   Lalu ada Copilot sebagai pembantu utamanya.   Ada flight engineer yang bertanggungjawab atas sistem teknis dalam pesawat.   Bila tidak ada manajemen yang baik, misalnya seorang pilot yang tidak memberi kepercayaan pada engineer-nya sehingga mencampuri kewenangan si engineer, akibatnya bisa fatal.   Begitu pula bila seorang engineer tidak memberi saran apapun pada pilot saat ada masalah teknis dalam penerbangan.   Di darat, manajemen perusahaan (institusi) juga berpengaruh signifikan.   Bila ada keterbukaan antara personel lapangan dengan para manajer, para awak pesawat dapat terbang dengan tenang dan penuh konsentrasi.   Sebaliknya, bila bawahan mendapat terlalu banyak tekanan (menyelesaikan pekerjaan dengan dead time yang pendek), atau pembatasan-pembatasan yang berlebihan (tidak diijinkan cuti, dsb) maka dampaknya bisa terbawa saat bawahan tersebut harus terbang atau melakukan pekerjaan di pesawat.   Ingat, tidak ada tempat sekecil apapun untuk sebuah kesalahan dalam dunia penerbangan!   Manajemen yang baik harus menjalankan mekanisme persuasif dan perintah secara seimbang.
  • Peka terhadap lingkungan anda.   Sudah berlaku umum bahwa lingkungan kerja yang baik, rapi dan nyaman akan membuat siapapun di dalamnya bekerja dengan tenang.   Prestasi kerjapun bisa dijamin akan baik dalam lingkungan kerja yang seperti ini.   Kenyamanan bekerja dapat diciptakan dengan berbagai cara, antara lain:
  1. Semaksimal mungkin penuhi kebutuhan bawahan, tentu saja dengan melihat aspek kepentingan organisasi secara menyeluruh (kekuatan finansial, orientasi ke depan dan sebagainya).   Upayakan mereka memiliki kelengkapan kerja yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas.   Begitu pula hak-hak seperti tunjangan kesehatan, keahlian sampai pada tunjangan hari raya (THR) dan gaji.   Pemenuhan hak seperti ini setidaknya membantu mereka meminimalisir persoalan mereka, khususnya dalam hal keuangan.
  2. Jangan membuat regulasi-regulasi yang terlalu mengekang hak-hak bawahan.   Kadang-kadang seorang pemimpin memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap tingkat disiplin bawahan, sehingga dikeluarkanlah regulasi-regulasi yang memberi terlalu banyak batasan kepada bawahan yang mengakibatkan bawahan cenderung memendam persoalan-persoalan pribadi mereka.   Membiarkan hal seperti ini adalah sama dengan menyimpan sebuah bom waktu yang suatu hari akan meledak.
  • Bentuk “pertahanan” yang fleksibel.   Memang tidak baik mengekang bawahan dengan regulasi yang terlalu mengikat, namun juga tidak baik membiarkan bawahan melakukan kemauan mereka sendiri-sendiri.   Harus ada konsekuensi yang tegas dan keras terhadap setiap pelanggaran.   Bila sebagai pemimpin anda telah merasa memenuhi segala hak mereka, anda berhak menuntut prestasi kerja maksimal dari mereka.   Begitu pula anda berhak menuntut mereka menjalankan kewajiban sebagai bawahan (masuk kerja dan pulang tepat waktu dan lain-lain).    Ini adalah bentuk hubungan 2 arah yang senergis dalam sebuah organisasi.   Dalam hal pekerjaan, anda harus percaya pada para inspector yang anda miliki.   Mereka memang dilatih untuk menilai kualitas kerja para mekanik di lapangan.

Good Management = No organizational accident
Sepanjang unsafe conditions dapat kita hilangkan, saat itu pula kita telah menghilangkan kemungkinan munculnya unsafe actions.   Ini terjadi karena manajemen yang baik dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan moril dan materiil setiap individu di dalamnya, sehingga mereka akan memiliki motivasi untuk memberikan yang terbaik bagi institusi tempatnya bekerja.
Kiranya benarlah apa yang disampaikan oleh Jerome C. Lederer, direktur pertama Safety Bureau of Civil Aeronautics Board USA bahwa “an accident, no matter how minor, is a failure of the organization”.   Menyikapi masalah human factor, berarti kita berbicara dan bertindak terhadap manusia di sekeliling kita.   Untuk itu, perlu sebuah manajemen yang baik, rapih dan terarah untuk dapat “memanusiakan manusia” sehingga tujuan yang ingin kita capai berupa keberhasilan misi penerbangan—dan misi kedirgantaraan secara lebih luas—dapat kita wujudkan dengan selamat.
Dalam dunia penerbangan, masalah human factor tidak semata-mata tentang individu-individu manusia, tapi lebih kepada sistem di mana “human” itu berada.   Selamat terbang!
sumber : http://lembagakeris.net/2012/11/human-error-atau-human-factor/